Rabu, 16 Juli 2014

Pemikiran Tasawuf Syeikh Burhanuddin Ulakkan dan Yusuf al-Makassari



Pemikiran Tasawuf Syeikh Burhanuddin Ulakkan dan Yusuf al-Makassari
Oleh Devia Adelita

Tasawuf di Sumatra Barat (Syeikh Burhanuddin Ulakkan)
Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah di Nusantara yang terpengaruh pemikiran tasawuf di Aceh. Ini bisa dibuktikan dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran tasawuf dan ordo tarekat di wilayah ini. Salah atu ordo tarekat yang berkembang pesat di Sumatera Barat yang bermula dari Aceh, adalah Tarekat Syatariyah. Di Indonesia, tarekat ini pertama kali dibawa oleh Abd. Rauf Sinkli pada abad ke 17.  Tarekat ini ketika di Mekkah dikembangkan oleh Mullah Ibrahim bi Hasan al-Kurani dan Ahmad Al-Qusyasyi. Kedua syaikh ini adalah juga guru dari Abdul Ruf Al-Sinkli dari Aceh. Dari kenyataan tersebut jelas bahwa pemikiran tasawuf yang berkembang di Sumatera Barat dipengaruhi pemikiran tasawuf Aceh. Burhanuddin Ulakkan merupakan murid dari Syaikh Abd.Rauf Sinkli yang aktif mengembangkan Tarekat Syatariyah.
Namanya ketika masih kecil adalah si Pono, ayahnya bernama Pampak dan ibunya bernama Nili.[1] Syaikh Burhanuddin adalah orang Minangkabau asli, seorang pengembang agama islam yang utama di Sumatra bagian tengah. Menurut berbagai catatan sejarah, Syeikh Burhanuddin lahir pada 1056 H (1646 M) dan wafat pada 1111H (1693 M). Burhanuddin lahir di Ulakkan (Pariaman), sebuah desa didekat Padang Panjang. Ketika masih kecil, Burhanuddin dan ayahnya menganut agama Budha, namun kemudian atas ajakan dan dakwah seorang saudagar Gujarat yang menyebarkan agama islam kepada penduduk di Pekan Batang Pengawas, Burhanuddin dan ayahnya meninggalkan agama Budha dan masuk islam dengan ikhlas.[2] Setelah memeluk agama islam, Burhanuddin meninggalkan kampung halamannya, Sintuk, untuk merantau ke Tapakis dan berguru dengan seorang ulama, Yahyuddin atau disebut juga Tuanku Madinah. Atas anjuran gurunya, Burhanuddin berangkat ke Aceh untuk belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkli.[3]
Setelah menuntut ilmu selama tiga puluh tahun di Aceh, akhirnya Burhanuddin kembali ke tempat asalnya, yaitu Minangkabau, untuk menyebarkan agama islam disana. Di Minangkabau, Burhanuddin mendirikan  surau di Tanjung Medan yang terletak di dalam kompleks tanah seluas kurang lebih 5 hektar dan diberi nama Surau Ulakkan. Memang, ajaran dan dakwah islam yang dibawa Burhanuddin diikuti dengan  baik oleh masyarakat Minangkabau dan tarekat yang dikembangkannya (tarekat Syatariyah) mendapat sambutan yang luar biasa. Hingga sekarang makam Syaikh Burhanuddin tetap mendapat perhatian besar.[4]

Karya-Karya Syeikh Burhanuddin Ulakkan
Sistem dan pola pemikiran Syekh Burhanuddin tidak dapat ditunjukkan secara konkrit, karena tulisannya yang dapat dijadikan acuan tidak ditemukan. Meskipun ada dua manuskrip yang oleh pengikutnya dikaitkan dengan Syekh Burhanuddin dan disebut sebagai karya Syekh Burhanuddin, tetapi manuskrip ini hanyalah merupakan mukhtasar (ringkasan) dari beberapa kitab tasawuf yang disebut pada penutup manuskrip itu. 
Karya-karya yang pernah beliau tulis, antara lain:
1.      Hudayah Balighah ‘ala Jum’at al muchasanah, suatu pembahasan mengani hukum Islam tentang: bukti, kesaksian dan sumpah palsu. Buah pikirannya ini menjadi pedoman dan kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh hingga dewasa ini.
2.      Miratul Tullab fi Tasyl Ma’rifatul Asysyariah li makhluk Wahhab kupasan mengenai pengantar Imu Fiqih menurut mazahab Syafii.
3.      Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, suatu kupasan mengenai pokok-pokok ajaran tasauf dan dasar-dasar pendiriannya dalam lapangan ini.
4.      Syair makrifat, karangan dalam bentuk puisi.
5.      Tafsir al Qur an, dalam bahasa Melayu.[5]

Pemikiran Tasawuf Syaikh Burhanuddin Ulakkan
Ajaran yang dikembangkan Syekh Burhanuddin sebagai penganut mazhab Syafi’i adalah tharikat Syattariyah, yang dinamakan juga tharikat Ulakan atau “martabat yang tujuh”. Martabat yang tujuh adalah mengenai ketujuh tahap pancaran dari “ada yang mutlak”, bersumber dari ajaran al Halaj, Ibnu Arabi. Menurut ajaran ini semua yang di alam merupakan pancaran dari Allah. Pikiran ini dikembangkan dari ajaran Wihdatul wujud, bersatu dengan Tuhan. Penganjur faham wihdatul wujud di Aceh adalah Syamsuddin Pasai al Sumatrani dan Hamzah Fansuri. Menurut Syamsuddin al Sumatrani, bahwa Allah itu roh, dan wujud kita ini roh dan wujud Tuhan. Sedangkan Hamzah Fansuri mengatakan bahwa asal roh itu qadin, yakni roh Muhammad s.a.w. karena ia dijadikan Allah dari pada nur zatnya yang qadin. Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenal dirinya, berarti mengenal Tuhannya), yang oleh Hamzah Fansuri diartikan bahwa manusia bersatu dengan Tuhan, bersatu sifat dengan zat.
Adapun ajaran tarekat Syattariyah mempunyai ciri-ciri khusus, antara lain:
a)     tentang lafadz bahasa Arab dari pada imam dan upacara-upacara berdasarkan bahasa Arab yang kuno dan kurang murni.
b)    Permulaan dan akhir puasa dilaksanakan semata-mata atas rukyah, dalam arti dapat dilihat dengan mata adanya bulan.

Pengaruh tarekat ini masih dapat disaksikan sekarang lewat “basapa” ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan. Dalam komplek makam tersebut, pengikutnya melakukan ratib semalam suntuk. Dalam ajaran tarekat, pendekatan dan penghormatan kepada guru diutamakan sekali. Jalan pikiran manusia dalam ajaran tharikat turut mempengaruhi akan peningkatan amalannya melalui makrifat (ilmu) dan hakikat (kebenaran sejati = Tuhan). Untuk memperoleh makrifat, perlu guru atau khalifah. Tanpa guru, makrifat tidak akan berhasil mencapai hakikat. Fungsi guru di sini adalah sebagai perantara (rabuthah). Guru menjadi komponen utama dalam menghubungkan seseorang dengan Tuhannya (hakikat), karenanya doa guru perlu disebut. Menyebut nama guru ialah memudahkan doa diperkenankan.
Proses pencapaian hakikat yang telah diajarkan guru menuntut penghormatan kepada guru, sehingga setelah meninggal jasa guru perlu diingat dalam bentuk ziarah ke makamnya. Dalam pikiran si murid, ulama dan guru tharikat dianggap mempunyai kelebihan yang luar biasa hingga dianggap keramat.
Tanah dan tempat-tempat yang pernah dipakai oleh ulama tersebut perlu dihormat dan dikunjungi. Banyak di antara murid-murid Syekh Burhanuddin yang mengembangkan ajaran tharikat ini di Minangkabau. Salah seorang murid yang terkenal ialah Tuanku Mansiang di Paninjauan. Setelah Syekh Burhanuddin wafat, banyak pula orang yang berguru kepada Tuanku Mansiang ini. Perkembangan kemudian cepat berubah sesuai dengan perkembangan pedalaman Minangkabau, Murid-murid Tuanku Mansiang ini mendirikan surau-surau di kampungnya dalam mengembangkan keahliannya masing-masing.

Tasawuf di Makasar, Syaikh Yusuf al-Makasari
1.      Riwayat Hidup
Syeikh Yusuf Al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H, yaitu ketika Sulawesi baru saja kedatangan tiga orang penyebar Islam yaitu Datuk Ri Bandang dan kawan-kawannya dari Minangkabau. Dalam salah satu karangannya, ia menulis belakang namanya dengan bahasa Arab “Al Makasari”, yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang).[6] Nama aslinya adalah Muhammad Yusuf, terkenal dengan gelar asy Syaikh al-Hajj Yusuf Abu Mahasin Hidayatullah Taj al-Khalwati al-Makassari al-Batani.[7] Dalam “Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, dinyatakan dengan jelas bahwa ayahnya bernama Gallarang Moncongloe, saudara seibu dengan Raja Gowa Sultan Alauddin Imanga‘rang’ Daeng Marabbia, Raja Gowa yang paling awal masuk Islam dan menetapkannya sebagai agama resmi kerajaan pada tahun 1603 M. Sedang ibunya bernama Aminah binti Dampang Ko’mara, seorang keturunan bangsawan dari Kerajaan Tallo, kerajaan kembar dengan Kerajaan Gowa. Sejak kecil beliau mulai diajarkan hidup secara Islam. Beliau mendapatkan pendidikan mengenai bacaan al-Quran melalui seorang guru mengaji yang bernama Daeng ri Tasammang.[8] Dalam tempo yang relatif singkat, ia telah tamat mempelajari Al-Qur’an 30 juz. Setelah itu ia mempelajari ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, maani, badi’, balaghah dan manthiq. Ia pun belajar pula ilmu fiqih, ilmu ushuluddin dan ilmu tasawuf.
Syeikh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di kota ini, ia menerima tarekat dari syeikhnya yang terkenal, yaitu Syeikh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Secara ringkas tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya adalah berikut ini:
a)    Tarekat Qadiriyah diterima dari Syeikh Nuruddin Al-Raniri di Aceh.
b)   Tarekat Naqsabandiyah diterima dari syeikh Abi Abdillah Abdul Baqi Billah.
c)    Tarekat As-Saadah Al- Baalawiyah diterimanya dari sayyid Ali di Zubeid/ Yaman.
d)   Tarekat Syatariyah diterimanya dari Ibahim Alkurani Madinah.
e)    Tarekat Khalwatiyah diterimanya dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad di Damsyiq.[9]

Syaikh Yusuf adalah pahlawan pejuang yang gigih melawan penjajahan Belanda. Semasa di  Makasar, ia bersama sultan Hasanuddin ikut berperang melawan Belanda. Setelah ditangkap belanda, ia diasingkan ke Banten. Di Bnaten, Syaikh Yusuf melakukan aktivitas dakwah islam, antara lain bersama Syaikh Abdul Muhyi Pamihajan, dimana kedua ulama yang memiliki karomah tinggi ini sering bertemu.[10]

2.      Pemikiran Tasawuf Yusuf al-Makassari
Berbeda denga kecenderungan sufisme pada masa-masa awal yang mengelakan kehidupan duniawi, Syaikh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran islam meliputi dua aspek: aspek lahir (syari’at) dan aspek batin (hakikat). Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan. Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu itu. Mengenai hal ini, Syaikh Yusuf al-Makassari mengembangkan istilah al-ihathah (peliputan) dan al-ma’iyyah (kesertaan). Kedua istilah itu menjelaskan bahwa Tuhan turun (tanazul), sementara manusia naik (taraqi), suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syeikh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan. Sebab, al-ihithah dan al-ma’iyyah Tuhan terhadap hambanya adalah secara ilmu. Menurutnya, fana adalah hamba yang tidak memiliki kesadaran tentang dirinya, merasa tidak ada, hanya ia menyadari sebagai yang mewujudkan, yang diwujudkan dan perwujudan. Pandangannya tentang Tuhan diatas secara umum mirip dengan wahdatul wujud dalam filsafat mistik Ibn Arabi.[11]


DAFTAR PUSTAKA

Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005
Amin, Samsul Munir, Karomah Para Kiai, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008
Putuhena, M. Saleh, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta: Lkis, 2007
Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2006
http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sebuah-penelitian-pemikiran-tasawuf-syekh-yusuf-al-makassari
https://www.facebook.com/note.php?note_id=183052849591



[1]M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2005). Hal 69-71
[2] Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008). Hal 304
[3] M. Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: Lkis, 2007). Hal 118
[4] Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai,,,,,, hal 306.
[5] https://www.facebook.com/note.php?note_id=183052849591 (diakses pada tanggal 14 Juli 2014)
[6] Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006). Hal 183
[7] Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai,,,,,,, hal 224.
[8] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sebuah-penelitian-pemikiran-tasawuf-syekh-yusuf-al-makassari/
[9] Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf,,,,,,,,, hal 184.
[10] Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai,,,,,, hal 225.
[11] M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara,,,,, hal 289.

1 komentar:

  1. Tag: camilli titanium - TITanium Arthritis - TITanium Art
    We created a unique ford escape titanium artwork with babyliss pro nano titanium hair dryer our unique and custom columbia titanium jacket designed design for the Titsanium Arthritis project. · Buy, Sell, and use it on TITSALES.CA$7.00 · titanium jewelry piercing ‎In stock ford fusion titanium for sale

    BalasHapus