IMAM SYAFI’I
Oleh Devia Adelita
A.
Riwayat
Hidup Imam Syafi’i
1. Kelahiran
Nama
lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin
Utsman bin Syafi’i bin a-Saib bin ‘Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Abdul ml
Muthalib bin ‘Abd Manaf bin Qushay al-Quraysyi al-Muthallibi. Nasab Imam
Syafi’i bertemu dengan Rasulullah Saw pada titik ‘Abd Manaf. Para ahli riwayat
sepakat, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam
Abu Hanifah. Pendapat ini dikukuhkan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Tahdzib al-Asma’wa al-Lughat. Dalam
kitab Mu’jam al-Udabba, Yaqut
mengutip tiga pernyataan Imam Syafi’i yang berkaitan dengan tempat
kelahirannya. Pertama, bahwa Imam Syafi’i
lahir di Ghaza pada tahun 150 H, kemudian dibawa ke Mekah pada usia dua
tahun. Kedua, bahwa Imam Syafi’i lahir di ‘Asqalan yang jaraknya dengan Ghaza
sekitar tiga Farsakh. Dimana keduanya berada di Palestina. Pernyataan yang
ketiga, bahwa Imam Syafi’i lahir di Yaman, namun karena ibunya khawatir tidak
dapat mengurus dengan baik, maka Imam Syafii diboyong ke Mekah. Adapun pernyataan
Imam Syafi’i yang ketiga, banyak para ulama yang memberikan interpretasi
terhadap pernyataan ini. Sebagian ulama berpendapat, maksud pernyataan Imam
Syafi’i “saya lahir di Yaman” adalah
bahwa mayoritas penduduk Ghaza dan ‘Asqalan berasal dari Kabilah Yaman. Meskipun
banyak pendapat mengenai tempat
kelahiran Imam Syafi’i, sampai sekarang
para ulama sepakat bahwa Imam Syafi’i lahir di tanah Palestina.[1]
2. Perjalanan
Hidup dan Pendidikan
Riwayat
pendidikan Imam Syafi’i sangat mengesankan. Usia tujuh tahun (sebagian menyebut
lima tahun) telah hafal Al-Qur’an secara sempurna, berikut maksud dari
tiap-tiap ayatnya. Pada usia lima belas tahun, Imam Syafi’i sudah berhak
memberi fatwa, suatu hal yang sangat langka untuk zaman itu, apalagi pada zaman
ini. Kecermelangan hidup Imam Syafi’i sehingga membawa kebaikan yang sangat
besar bagi umat manusia hingga zaman ini, tidak dapat dilepaskan dari kebesaran
jiwa ibunya. Sejak bayi, Muhammad bin Idris telah ditinggal mati oleh ayahnya,
sedangkan ibunya lebih memilih menjanda agar dapat mendidik anaknya dengan
sebaik-baiknya. [2] Syafi’i
kecil cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al
Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda
dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris.”[3]
Imam Syafi’i pergi merantau keluar Mekah dan belajar bahasa Arab. Meskipun
sehari- hari berbicara dalam bahasa Arab, namun ia masih merasa kurang jika
tidak mempelajari tingkatan yang lebih tinggi, yaitu sastra dari Bani Hudzil.
Beberapa tahun lamanya, ia tinggal di perkampungan Bani Hudzail yang memang
terkenal dengan bahasanya yang tingkat tinggi. Disana Imam Syafi’i mempelajari
sastra, syair dan sajak. Setelah itu Imam Syafi’i memulai perjalanannya dan
menekuni ilmu-ilmu fiqih. Salah satu gurunya adalah Imam Maliki dan Imam Muslim
bin Khalid Az Zanny. Tentang hadis ia belajar kepada Imam Sufyan bin Uyainah,
salah seorang ulama hadis terkenal di Mekah pada masa itu. Dalam sebuah riwayat
dikisahkan, pada usia epuluh tahun ia sudah hafal kitab AlMuwaththa, kitab tentang hukum dan fiqih karya Imam Maliki.[4]
Kemudian Imam
Syafi’i pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia
mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam
Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan
pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Selanjutnya Imam Syafi’i pergi ke
Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang
didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf
Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour
ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu
dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau
mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih
banyak lagi yang lainnya.[5]
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari
Muhammad bin Hasan. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab
qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru
(madzhab jadid).[6]
3. Karya-Karya
Imam Syafi’i telah
menghasilkan beberapa karya tulis, di antaranya:
1) Kitab
Al Umm yang dikumpulkan oleh murid beliau, Ar Robi’ bin Sulaiman.
2)
Kitab Ikhtilaful Hadits.
3) Kitab
Ar Risalah, awal kitab yang membahas Ushul Fiqh.
Beberapa Kitab Rujukan dalam Madzhab
Syafi’i:
1) Kitab
Al Muhaddzab karya Abu Ishaq Asy Syairozi. Imam Nawawi memiliki kitab
penjelas dari kitab tersebut yang diberi nama “Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab”.
Beliau menulis penjelasan hingga Bab Riba, setelah itu meninggal dunia. Lalu
dilanjutkan (disempurnakan) oleh As Subkiy sebanyak satu jilid setelah Bab Riba
hingga beliau pun wafat. Dan dilanjutkan oleh Syaikh Muhammad Bakhit Al Muthi’i
(mufti Mesir di masa silam).
2) Al Wajiz karya Abu Hamid Al Ghozali,
lalu dijelaskan dalam kitab Fathul ‘Aziz karya Abul Qosim Ar Rofi’i.
3)
Roudhotuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftiyin
karya Imam Nawawi.
Beberapa
karya matan ringkas:
1)
Matan Abi Syuja’ (Ghoyatul Ikhtishor)
dan di antara kitab penjelas yang ringkas adalah Fathul Qorib karya
Syaikh Muhammad bin Qosim Al Ghozi dan Al Iqna’ fii Hilli Alfazhi Abi
Syuja’ karya Al Khotib Asy Syarbini, juga Kifayatul Akhyar fii Hilli
Ghoyatil Ikhtishor karya Abu Bakr Al Husniy Ad Dimasyqi;
2)
Matan Az Zubdi karya Ahmad bin Ruslan, di
antara kitab penjelasnya adalah Mawahib Ash Shomad fii Hilli Alfazhiz Zubdi
karya Ahmad bin Hijaziy dan Ghoyatul Bayan Syarh Manzhumah Az Zubdi li Ibni
Ruslan karya Muhammad Ar Romliy.
3)
Kitab matan ini yang perlu dikaji mulai dari tingkat
dasar, seperti kita dapat mengambil urutan dari mempelajari Matan Abi
Syuja’ terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan Fathul Qorib,
setelahnya Al Iqna’, lalu Kifayatul Akhyar.
4. Imam
Syafi’i Wafat
Di
akhir hayatnya, Syafi’i terkena penyakit ambien yang cukup akut, karena terlalu
banyak aktivitas dan kurang istirahat selama beberapa tahun tinggal di Mesir.
Waktunya habis untuk kegiatan menulis, mengajar, berdiskusi, menyebarkan Mazhab
dan membela dari kritikan-kritikan rivalnya. Akhirnya, Jum’at malam di akhir
bulan Rajab 204 H, selepas maghrib Syafi’i menghembuskan nafas terakhir. Syafi’i
mewariskan peninggalan yang sangat berharga bagi umat islam, yaitu karya-karya
ilmiah dan mazhab fiqih.[7]
B. Mazhab
Syafi’i
Madzhab
Syafi’i –madzhab yang ketiga diantara madzhab-madzhab Ahli al-Sunnah yang
tumbuh dan terkenal. Sejak awalnya berkembang dalam sebuah perjalanan panjang
yang berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain.[8] Dasar-dasar
Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab
fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan
kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah
(yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada
hal-hal berikut.
1)
Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada
yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i
pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum
Islam.
2)
Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan
rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah
sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
3)
Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang
tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam
Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan
seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal
seperti ini tidak mungkin terjadi.
4) Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai
ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam
Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu
cara menetapkan hukum Islam.[9]
Pemikiran
madzhab Syafi’i tidak bisa dilepaskan dari dua madzhab pendahulunya, sebab Imam
Syafi’i adalah murid Imam Malik, kemudian walaupun Imam Syafi’i tidak berguru
langsung pada Imam Abu Hanifah, tetapi beliau telah berhasil menyerap ilmu-ilmu
madzhab Hanafi melalui “arsitek madzhab Hanafi” yang juga murid Imam Abu
Hanifah : Imam Muhammad bin Hasan. Dalam kenyataannya, keuletan Imam Syafi’i
dalam berijtihat, telah melahirkan dua istilah yang terkenal dengan sebutan
‘Qoul Qodim’ dan ‘Qoul-Jadid’ ; dua istilah yang juga dua fase bagi
perkembangan madzhab Syafi’i dizaman pendirinya. Dan munculnya dua istilah
tersebut, adalah bukti bagi perkembangan ilmu Imam Syafi’i, yang sekaligus juga
merupakan bukti dari keinginan Imam Syafi’i untuk menetapkan hukum-hukum Islam
sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits secara benar.
Adapun yang dimaksud dengan ‘Qoul-Qodim’ : adalah istilah ulama-ulama Syafi’i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i ketika beliau masih berada di Baghdad; sedang‘Qoul-Jadid’, adalah istilah ulama Syafi’i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i ketika beliau di Mesir
Ulama sepakat, bahwa semua pendapat Imam Syafi’i ketika beliau masih di Baghdad sampai menjelang keberangkatan beliau ke Mesir disebut Qoul Qodim; sebagaimana juga ulama sepakat, bahwa semua pendapat dan perkataan Imam Syafi’i sejak beliau memasuki dan menetap di Mesir disebut Qoul Jadid. Perbedaan pendapat terjadi atas perkataan dan pendapat Imam Syafi’i sejak beliau meninggalkan Baghdad sampai menjelang masuk dan menetapnya Imam Syafi’i di Mesir.
Adapun yang dimaksud dengan ‘Qoul-Qodim’ : adalah istilah ulama-ulama Syafi’i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i ketika beliau masih berada di Baghdad; sedang‘Qoul-Jadid’, adalah istilah ulama Syafi’i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i ketika beliau di Mesir
Ulama sepakat, bahwa semua pendapat Imam Syafi’i ketika beliau masih di Baghdad sampai menjelang keberangkatan beliau ke Mesir disebut Qoul Qodim; sebagaimana juga ulama sepakat, bahwa semua pendapat dan perkataan Imam Syafi’i sejak beliau memasuki dan menetap di Mesir disebut Qoul Jadid. Perbedaan pendapat terjadi atas perkataan dan pendapat Imam Syafi’i sejak beliau meninggalkan Baghdad sampai menjelang masuk dan menetapnya Imam Syafi’i di Mesir.
Menurut Ibn
Hajar ( 974 H), Qoul-Qodim adalah semua pendapat dan perkataan Imam Syafi’i
sebelum masuk Mesir. Sementara itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Qoul-Qodim
hanya pendapat beliau ketika beliau masih berada di Baghdad, dengan begitu masa
antara Baghdad dan Mesir termasuk Qoul-Jadid. Dan sebagian lagi merinci, dengan
mengatakan bahwa masa antara Baghdad dan Mesir yang awal disebut juga
Qoul-Qodim, dan yang kemudian dikatagorikan Qoul-Jadid. Dan diantara ketiga
pendapat tersebut, yang pertamalah yang paling kuat yang menjadi pilihan
mayoritas Ulama Syafi’iyyah, diantaranya Imam Romli. Adapun perowi Qoul-Qodim
adalah : Ahmad bin Hambal ( 241 H) ; Al-Za’faroni ( Hasan bin Muhammad : 260
H); Al-Karobisyi ( 245 H./248H.); Abu Tsur (Ibrahim bin Kholid : 240 H). Sedangkan
perowi Qoul-Jadid : Al-Buwaithi (231 H); Al-Muzani (264 H); Robi’ Al-Murodi
(270 H); Robi’ Al-Jizi (256 H); Yunus bin Abd. A’la (264 H); Abdullah bin
Zubair Al-Makki (219 H); Muhammad bin Abdullah bin Abd. Hakam dan Harmalah (243
H). Tiga yang terdahulu adalah yang paling banyak andilnya dalam penyebaran dan
pengembangan madzhab Syafi’i, dan diantara ketiganya, Robi’ Al-Muradi lah yang
paling banyak meriwayatkan perkataan Imam Syafi’i, dan itu diakui sendiri oleh
Imam Syafi’i dalam sabdanya: “Robi’ adalah perowi saya.[10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar