Rabu, 16 Juli 2014

Tokoh Besar Islam



IMAM SYAFI’I
Oleh Devia Adelita

A.    Riwayat Hidup Imam Syafi’i
1.      Kelahiran
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin a-Saib bin ‘Ubaid bin Abd Yazid bin Hasyim bin Abdul ml Muthalib bin ‘Abd Manaf bin Qushay al-Quraysyi al-Muthallibi. Nasab Imam Syafi’i bertemu dengan Rasulullah Saw pada titik ‘Abd Manaf. Para ahli riwayat sepakat, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Pendapat ini dikukuhkan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Tahdzib al-Asma’wa al-Lughat. Dalam kitab Mu’jam al-Udabba, Yaqut mengutip tiga pernyataan Imam Syafi’i yang berkaitan dengan tempat kelahirannya. Pertama, bahwa Imam Syafi’i  lahir di Ghaza pada tahun 150 H, kemudian dibawa ke Mekah pada usia dua tahun. Kedua, bahwa Imam Syafi’i lahir di ‘Asqalan yang jaraknya dengan Ghaza sekitar tiga Farsakh. Dimana keduanya berada di Palestina. Pernyataan yang ketiga, bahwa Imam Syafi’i lahir di Yaman, namun karena ibunya khawatir tidak dapat mengurus dengan baik, maka Imam Syafii diboyong ke Mekah. Adapun pernyataan Imam Syafi’i yang ketiga, banyak para ulama yang memberikan interpretasi terhadap pernyataan ini. Sebagian ulama berpendapat, maksud pernyataan Imam Syafi’i “saya lahir di Yaman” adalah bahwa mayoritas penduduk Ghaza dan ‘Asqalan berasal dari Kabilah Yaman. Meskipun banyak pendapat mengenai  tempat kelahiran Imam Syafi’i,  sampai sekarang para ulama sepakat bahwa Imam Syafi’i lahir di tanah Palestina.[1]
2.     Perjalanan Hidup dan Pendidikan  
Riwayat pendidikan Imam Syafi’i sangat mengesankan. Usia tujuh tahun (sebagian menyebut lima tahun) telah hafal Al-Qur’an secara sempurna, berikut maksud dari tiap-tiap ayatnya. Pada usia lima belas tahun, Imam Syafi’i sudah berhak memberi fatwa, suatu hal yang sangat langka untuk zaman itu, apalagi pada zaman ini. Kecermelangan hidup Imam Syafi’i sehingga membawa kebaikan yang sangat besar bagi umat manusia hingga zaman ini, tidak dapat dilepaskan dari kebesaran jiwa ibunya. Sejak bayi, Muhammad bin Idris telah ditinggal mati oleh ayahnya, sedangkan ibunya lebih memilih menjanda agar dapat mendidik anaknya dengan sebaik-baiknya. [2] Syafi’i kecil cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris.”[3] Imam Syafi’i pergi merantau keluar Mekah dan belajar bahasa Arab. Meskipun sehari- hari berbicara dalam bahasa Arab, namun ia masih merasa kurang jika tidak mempelajari tingkatan yang lebih tinggi, yaitu sastra dari Bani Hudzil. Beberapa tahun lamanya, ia tinggal di perkampungan Bani Hudzail yang memang terkenal dengan bahasanya yang tingkat tinggi. Disana Imam Syafi’i mempelajari sastra, syair dan sajak. Setelah itu Imam Syafi’i memulai perjalanannya dan menekuni ilmu-ilmu fiqih. Salah satu gurunya adalah Imam Maliki dan Imam Muslim bin Khalid Az Zanny. Tentang hadis ia belajar kepada Imam Sufyan bin Uyainah, salah seorang ulama hadis terkenal di Mekah pada masa itu. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, pada usia epuluh tahun ia sudah hafal kitab AlMuwaththa, kitab tentang hukum dan fiqih karya Imam Maliki.[4]
Kemudian Imam Syafi’i pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Selanjutnya Imam Syafi’i pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.[5] Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid).[6]

3.      Karya-Karya
Imam Syafi’i telah menghasilkan beberapa karya tulis, di antaranya:
1)      Kitab Al Umm yang dikumpulkan oleh murid beliau, Ar Robi’ bin Sulaiman.
2)      Kitab Ikhtilaful Hadits.
3)      Kitab Ar Risalah, awal kitab yang membahas Ushul Fiqh.
Beberapa Kitab Rujukan dalam Madzhab Syafi’i:
1)      Kitab Al Muhaddzab karya Abu Ishaq Asy Syairozi. Imam Nawawi memiliki kitab penjelas dari kitab tersebut yang diberi nama “Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab”. Beliau menulis penjelasan hingga Bab Riba, setelah itu meninggal dunia. Lalu dilanjutkan (disempurnakan) oleh As Subkiy sebanyak satu jilid setelah Bab Riba hingga beliau pun wafat. Dan dilanjutkan oleh Syaikh Muhammad Bakhit Al Muthi’i (mufti Mesir di masa silam).
2)       Al Wajiz karya Abu Hamid Al Ghozali, lalu dijelaskan dalam kitab Fathul ‘Aziz karya Abul Qosim Ar Rofi’i.
3)      Roudhotuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftiyin karya Imam Nawawi.


Beberapa karya matan ringkas:
1)      Matan Abi Syuja’ (Ghoyatul Ikhtishor) dan di antara kitab penjelas yang ringkas adalah Fathul Qorib karya Syaikh Muhammad bin Qosim Al Ghozi dan Al Iqna’ fii Hilli Alfazhi Abi Syuja’ karya Al Khotib Asy Syarbini, juga Kifayatul Akhyar fii Hilli Ghoyatil Ikhtishor karya Abu Bakr Al Husniy Ad Dimasyqi;
2)      Matan Az Zubdi karya Ahmad bin Ruslan, di antara kitab penjelasnya adalah Mawahib Ash Shomad fii Hilli Alfazhiz Zubdi karya Ahmad bin Hijaziy dan Ghoyatul Bayan Syarh Manzhumah Az Zubdi li Ibni Ruslan karya Muhammad Ar Romliy.
3)      Kitab matan ini yang perlu dikaji mulai dari tingkat dasar, seperti kita dapat mengambil urutan dari mempelajari Matan Abi Syuja’ terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan Fathul Qorib, setelahnya Al Iqna’, lalu Kifayatul Akhyar.

4.     Imam Syafi’i Wafat
Di akhir hayatnya, Syafi’i terkena penyakit ambien yang cukup akut, karena terlalu banyak aktivitas dan kurang istirahat selama beberapa tahun tinggal di Mesir. Waktunya habis untuk kegiatan menulis, mengajar, berdiskusi, menyebarkan Mazhab dan membela dari kritikan-kritikan rivalnya. Akhirnya, Jum’at malam di akhir bulan Rajab 204 H, selepas maghrib Syafi’i menghembuskan nafas terakhir. Syafi’i mewariskan peninggalan yang sangat berharga bagi umat islam, yaitu karya-karya ilmiah dan mazhab fiqih.[7]

B.     Mazhab Syafi’i
Madzhab Syafi’i –madzhab yang ketiga diantara madzhab-madzhab Ahli al-Sunnah yang tumbuh dan terkenal. Sejak awalnya berkembang dalam sebuah perjalanan panjang yang berbeda dengan madzhab-madzhab yang lain.[8] Dasar-dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada hal-hal berikut.
1)      Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
2)      Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
3)      Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
4)      Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.[9]
Pemikiran madzhab Syafi’i tidak bisa dilepaskan dari dua madzhab pendahulunya, sebab Imam Syafi’i adalah murid Imam Malik, kemudian walaupun Imam Syafi’i tidak berguru langsung pada Imam Abu Hanifah, tetapi beliau telah berhasil menyerap ilmu-ilmu madzhab Hanafi melalui “arsitek madzhab Hanafi” yang juga murid Imam Abu Hanifah : Imam Muhammad bin Hasan. Dalam kenyataannya, keuletan Imam Syafi’i dalam berijtihat, telah melahirkan dua istilah yang terkenal dengan sebutan ‘Qoul Qodim’ dan ‘Qoul-Jadid’ ; dua istilah yang juga dua fase bagi perkembangan madzhab Syafi’i dizaman pendirinya. Dan munculnya dua istilah tersebut, adalah bukti bagi perkembangan ilmu Imam Syafi’i, yang sekaligus juga merupakan bukti dari keinginan Imam Syafi’i untuk menetapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadits secara benar.
Adapun yang dimaksud dengan ‘Qoul-Qodim’ : adalah istilah ulama-ulama Syafi’i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i ketika beliau masih berada di Baghdad; sedang‘Qoul-Jadid’, adalah istilah ulama Syafi’i bagi semua pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i ketika beliau di Mesir
Ulama sepakat, bahwa semua pendapat Imam Syafi’i ketika beliau masih di Baghdad sampai menjelang keberangkatan beliau ke Mesir disebut Qoul Qodim; sebagaimana juga ulama sepakat, bahwa semua pendapat dan perkataan Imam Syafi’i sejak beliau memasuki dan menetap di Mesir disebut Qoul Jadid. Perbedaan pendapat terjadi atas perkataan dan pendapat Imam Syafi’i sejak beliau meninggalkan Baghdad sampai menjelang masuk dan menetapnya Imam Syafi’i di Mesir.
Menurut Ibn Hajar ( 974 H), Qoul-Qodim adalah semua pendapat dan perkataan Imam Syafi’i sebelum masuk Mesir. Sementara itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Qoul-Qodim hanya pendapat beliau ketika beliau masih berada di Baghdad, dengan begitu masa antara Baghdad dan Mesir termasuk Qoul-Jadid. Dan sebagian lagi merinci, dengan mengatakan bahwa masa antara Baghdad dan Mesir yang awal disebut juga Qoul-Qodim, dan yang kemudian dikatagorikan Qoul-Jadid. Dan diantara ketiga pendapat tersebut, yang pertamalah yang paling kuat yang menjadi pilihan mayoritas Ulama Syafi’iyyah, diantaranya Imam Romli. Adapun perowi Qoul-Qodim adalah : Ahmad bin Hambal ( 241 H) ; Al-Za’faroni ( Hasan bin Muhammad : 260 H); Al-Karobisyi ( 245 H./248H.); Abu Tsur (Ibrahim bin Kholid : 240 H). Sedangkan perowi Qoul-Jadid : Al-Buwaithi (231 H); Al-Muzani (264 H); Robi’ Al-Murodi (270 H); Robi’ Al-Jizi (256 H); Yunus bin Abd. A’la (264 H); Abdullah bin Zubair Al-Makki (219 H); Muhammad bin Abdullah bin Abd. Hakam dan Harmalah (243 H). Tiga yang terdahulu adalah yang paling banyak andilnya dalam penyebaran dan pengembangan madzhab Syafi’i, dan diantara ketiganya, Robi’ Al-Muradi lah yang paling banyak meriwayatkan perkataan Imam Syafi’i, dan itu diakui sendiri oleh Imam Syafi’i dalam sabdanya: “Robi’ adalah perowi saya.[10]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar